Sejarah Adaro


The early days: The very first shipment of Envirocoal leaves Adaro Indonesia’s mine site in South Kalimantan in 1991.

Sejarah Adaro dimulai dari guncangan minyak dunia pada tahun 1970an. Hal ini menyebabkan Pemerintah Indonesia merevisi kebijakan energinya, yang pada saat itu berfokus kepada minyak dan gas, untuk mengikut sertakan batubara sebagai bahan bakar untuk penggunaan dalam negeri. Dengan meningkatnya fokus terhadap batubara pada tahun 1976, Departemen Pertambangan membagi Kalimantan Timur dan Selatan menjadi 8 blok batubara dan membuka tender untuk blok-blok tersebut.
Perusahaan Pemerintah Spanyol, Enadimsa, memasang tawaran untuk Blok 8 di wilayah Tanjung, Kalimantan Selatan, karena batubara diketahui keberadaannya di daerah tersebut dari singkapan yang telah dipetakan oleh ahli-ahli geologi Belanda pada tahun 1930an dan dari perpotongan pada sumur minyak yang telah dibor oleh Pertamina pada tahun 1960an.
Tidak ada perusahaan lain yang memasang tawaran untuk blok tersebut, karena pada waktu itu lokasi tersebut dianggap terlalu jauh di pedalaman dan memiliki kualitas batubara yang rendah.

Mengapa ‘Adaro’?
Nama ‘Adaro’ dipilih oleh perusahaan Enadimsa dalam rangka menghormati keluarga Adaro, yang sangat terkenal dalam sejarah Spanyol, yang berperan besar dalam kegiatan penambangan di Spanyol selama beberapa abad. Dengan demikian lahirlah PT Adaro Indonesia.
Perjanjian Kerjasama Batubara Adaro Indonesia (CCA) ditandatangani pada tanggal 2 November 1982. Enadimsa melaksanakan kegiatan eksplorasi di area perjanjian dari tahun 1983 hingga 1989, ketika konsorsium yang terdiri dari perusahaan Australia dan Indonesia membeli 80% kepemilikan Adaro Indonesia dari Enadimsa.
Pada bagian awal tahun 1990an, Adaro melaksanakan studi kelayakan untuk meletakkan dasar pembangunan proyek. Hal yang penting adalah memilih rute transportasi untuk pengangkutan batubara, dan keputusan diambil untuk membangun jalan pengangkutan batubara sepanjang 80km yang terletak di sebelah barat Sungai Barito, daripada membangun jalan sepanjang 130 km yang terletak sebelah timur dari Adang Bay di pesisir Kalimantan karena akan lebih cepat dan murah, dan terutama karena dapat menghindari jalan yang melintasi Pegunungan Meratus.
Produksi batubara juga diputuskan untuk dimulai dari tambang Paringin karena memiliki nilai panas yang lebih tinggi daripada tambang Tutupan, dan juga tambang tersebut memiliki lapisan penutup yang mengandung batulumpur, batuan keras yang cocok dalam konstruksi jalan. Pengembangan tambang ini dipercepat demi membawa batubara kepada pasar secepat mungkin untuk membangun basis pelanggan.
Perusahaan memutuskan untuk berintegrasi sebanyak mungkin dengan masyarakat setempat, dimana seluruh karyawan, baik asing maupun lokal, tinggal di kota-kota setempat, dan rekrutmen difokuskan pada masyarakat setempat dengan komitmen untuk mengadakan pelatihan dalam skala besar. Penggunaan jasa kontraktor secara maksimum juga dijadikan fokus operasional, terutama jasa kontraktor dan pemasok lokal bila memungkinkan.
Langkah yang pertama dalam pengembangan deposit batubara adalah pengumpulan dana dan di bulan Mei 1990, dilakukan pendekatan dengan sejumlah bank untuk memperoleh pembiayaan proyek sebesar AS$28 juta. Namun semua bank yang didekati menolak memberikan pembiayaan karena pertimbangan adanya masalah yang terkait dengan kualitas batubara karena jenis batubara sub-bituminus Adaro belum diperdagangkan secara internasional dengan volume yang signifikan dan pasar domestik pada saat itu relatif kecil.
Ada keraguan tentang kelayakan konstruksi jalan angkutan batubara, terutama karena 27 km dari jalan yang diusulkan melintasi daerah rawa, yang bila dianggap layak secara teknis pun akan menimbulkan biaya konstruksi yang tinggi.
Oleh karena itu, para pemegang saham memberikan dana pembangunan sebesar AS$20 juta dengan suku finansial komersial untuk konstruksi dan pembangunan kegiatan operasional Adaro dengan syarat bahwa kebutuhan dana yang lebih bersumber dari arus kas perusahaan.

Penambangan Perdana
Konstruksi jalan angkutan batubara dimulai pada bulan September 1990 dan menghabiskan waktu sekitar satu tahun yang disebabkan oleh kesulitan dalam peletakan jalan sepanjang 27 km diatas rawa-rawa di sisi Sungai Barito. Konstruksi sistem penghancuran, stockpiling dan pemuatan tongkang sebesar 2 juta tonne per tahun di Sungai Kelanis dimulai pada bulan Maret 1991.
Pit Paringin dengan lapisan tunggalnya setebal 30 meter dibuka di bulan Maret 1991 dengan menggunakan jasa kontraktor lokal. Batubara yang pertama diuji coba pada run-of-mine stockpile dan sampel kemudian dikirim ke Australia untuk uji pembakaran. Hasilnya baik dan menunjukkan beberapa potensi hal positif dari penggunaan batubara pada pemanas komersial. Pembukaan resmi tambang Paringin dilaksanakan pada bulan Agustus 1991.
Selama tahun 1990, dikembangkan suatu program pemasaran yang berfokus pada pasar potensial dimana batubara Adaro yang mengandung tingkat sulfur dan abu yang sangat rendah dapat menawarkan manfaat yang besar. Untuk membantu kegiatan pemasaran, diputuskan untuk mengadopsi merek dagang untuk batubara yang akan mencerminkan kualitas-kualitas tersebut dan setelah “aquacoal” didiskusikan dan ditolak, nama “envirocoal” terpilih untuk digunakan sebagai merek batubara Adaro.
Penjualan pertama batubara Adaro adalah kepada Krupp Industries dari Jerman yang tertarik dengan karakter ramah lingkungan Envirocoal. Kapal perusahaan, MV Maersk Tanjong, yang memiliki peralatan roda gigi dan pengeruknya sendiri berlayar ke Eropa pada tanggal 22 Oktober dengan 68,750 ton Envirocoal.
Setelah uji coba lebih lanjut, pengiriman dilakukan pada tahun 1992 kepada beberapa pelanggan potensial dan dengan penyelesaian pembangunan infrastruktur batubara dan pembentukan basis pelanggan, Adaro dinyatakan beroperasi secara komersil pada tanggal 22 Oktober 1992.
Sejak hari-hari awal tersebut, tambang Adaro Indonesia telah bertumbuh menjadi lokasi tambang tunggal terbesar di belahan bumi bagian selatan, dan produksi telah bertumbuh dari awal mula 1 juta ton pada tahun 1992, dan beberapa tahun mencetak pertumbuhan yang luar biasa. Sebagai contoh, pada tahun 2006, Adaro Indonesia meningkatkan produksi sebanyak lebih dari 28% dari tahun sebelumnya menjadi 34,4 juta ton.
Hingga hari ini, produksi dan penjualan batubara Adaro Indonesia telah memiliki tren pertumbuhan stabil. Terlepas dari tantangan Pandemi Covid-19, total produksi tahun 2021 mencapai 52,7 juta ton.

Penggantian Nama Perusahaan
Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang diselenggarakan pada tanggal 9 Februari 2022, para pemegang saham menyetujui perubahan nama perseroan menjadi PT Adaro Energy Indonesia Tbk yang sebelumnya merupakan PT Adaro Energy Tbk. Perubahan ini menandakan status perusahaan sebagai perusahaan nasional dan menunjukkan komitmen PT Adaro Energy Indonesia Tbk untuk berkontribusi lebih jauh ke Indonesia.
Untuk selengkapnya, klik di sini.

Perubahan Nama Perusahaan Menuju Masa Depan yang Lebih Hijau
Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang diselenggarakan pada tanggal 18 November 2024, para pemegang saham menyetujui perubahan nama perseroan menjadi PT Alamtri Resources Indonesia Tbk.

Rencana perubahan nama Perseroan merupakan salah satu langkah Perseroan memperkenalkan identitas baru Perseroan sebagai entitas induk yang akan lebih berfokus pada bisnis hijau dan pengembangan proyek-proyek ramah lingkungan dengan pilar bisnis Adaro Minerals dan Adaro Green, setelah terjadinya pemisahan pilar bisnis pertambangan batubara termal dan beberapa bisnis pendukungnya, melalui pelaksanaan Penawaran Umum Pemegang Saham (“PUPS”).

Terakhir update pada Rabu, 11 Desember 2024 / 13:42 WIB | 682545